Gagasan untuk membebaskan pengetahuan dengan mengakali peraturan (alih-alih menerobos dan melanggar) telah menjadi kegemaran tersendiri bagi saya. Ide ini muncul dan coba saya terapkan secara konsisten paling tidak sejak saya mengenal logika Creative Commons dan mendalami konsep pengarsipan mandiri dari Internet Archive dan Wiki.
Tidak. Saya tidak sedang membicarakan Creative Commons sebagai organisasi seperti selama ini. Meskipun secara fungsional, lisensi terbuka merupakan alat yang lahir dari hasil mengakali rezim hak cipta, yang bagi saya selalu punya keasyikan tersendiri untuk diselami lebih jauh. Di sini yang saya bicarakan adalah Creative Commons sebagai serangkaian logika pembebasan (seperti yang diucapkan oleh Peter Gelderloos dalam “Commoning and Scarcity: a manifesto against capitalism”) untuk mengembalikan kuasa atas sumber daya bernama “ilmu pengetahuan” kembali ke pada publik. Karena, pengetahuan, apapun bentuknya, sejak awal adalah milik bersama. Ia tercipta di ruang bebas, yang dimanfaatkan dan dirawat bersama-sama oleh publik. Sumber daya bersama yang disirkulasikan di domain publik.
Pada awalnya, saya tertarik dengan cara-cara untuk mengajak lembaga publik seperti galeri, perpustakaan, badan arsip, dan museum agar mau terlibat dalam logika pembebasan ini. Paling tidak dengan memanfaatkan klausa masa berlaku pelindungan hak cipta di UU №28 Tahun 2014 untuk mengidentifikasi pengetahuan mana yang sudah bisa kita buka aksesnya kepada publik dan mana yang belum. Pola ini beberapa kali saya lakukan, baik bersama @cc.indonesia, @wikimediaid, atau organisasi terkait lainnya. Beberapa berhasil, beberapa belum, dan beberapa sepertinya tidak akan berhasil.
Kemudian saya teringat pada sosok seperti Chris Woodrich. Lakon pengarsip mandiri yang banyak membagikan hasil pindaian arsipnya yang sudah bebas hak cipta ke Wikimedia Commons. Banyak dari arsip yang ia bagikan adalah arsip tentang sejarah film Indonesia. Di mana kemudian arsip-arsip itu mempunyai manfaat dan tempat berkesan tersendiri bagi para pengkaji film Indonesia.
Koleksi arsip Chris sebagian besar ia dapat dari toko buku bekas, baik daring maupun luring. Ya, toko buku bekas. Tempat yang jauh dari segala struktur dan bentuk-bentuk kuasa yang lahir karenanya. Ruang yang jauh berbeda suasananya dalam menyediakan akses terhadap pengetahuan dibandingkan lembaga-lembaga yang saya sebut di atas tadi. Inspirasi yang datang dari Chris sejak lama itu akhirnya baru bisa saya realisasikan akhir-akhir ini. Jika yang di atas belum dan bahkan tidak bisa diajak untuk menari bersama logika pembebasan itu, kenapa kita tidak coba mulai di bawah saja? Memanfaatkan keleluasaan akses terhadap pengetahuan bersama di perpustakaan bayangan (meminjam istilah dari buku “Shadow Libraries: Access to Knowledge in Global Higher Education”) bernama toko buku bekas.
Beberapa koleksi yang saya akuisisi dan berencana untuk dibebaskan terdiri dari majalah dan karya tulis terjemahan. Dari majalah saya bisa mengambil beberapa karya fotografi dari tahun 1971 ke belakang yang sudah habis masa berlaku pelindungan hak ciptanya pada tahun ini. Hal yang sama juga berlaku untuk karya tulis terjemahan. Di samping itu pamflet-pamflet lama iklan musik juga menjadi penting untuk menambah catatan tentang lagu Indonesia lama, yang nantinya mungkin bisa diidentifkasi sebagai ciptaan bebas hak cipta ketika saya mendapatkan informasi tentang tahun meninggal masing-masing pencipta lagunya. Di tempat lain, sejak awal tahun ini (bersama CC Indonesia) saya membuat catatan dalam bentuk basis data yang memuat daftar ciptaan bebas hak cipta di Indonesia. Versi-versi fisik ini menjadi penting sebagai pendukung, alat bukti yang menjustifikasi klaim saya terhadap status bebas hak cipta mereka. Jika memungkinkan, saya akan mulai memindai dan membagikan hasil pindaiannya saat paling tidak sudah ada 10 terbitan yang berhasil saya akuisisi (kalau foto-foto ini saya pindai dari pamflet musik tanpa judul milik “Bongkaran Jaman”, dari jual-beli, ke pinjam-meminjam, hihi, seru sekali).
Ketika melakukan pola-pola pengarsipan mandiri dengan logika pembebasan ini (seperti yang juga saya lakukan di @perpustaxaan), saya kemudian bertanya-tanya.
Berapa banyak pengetahuan yang bisa kita kembalikan menjadi sumber daya bersama di domain publik, jika para pengarsip mandiri melakukan pola ini?
Apakah dengan mengakuisisinya dan membagikannya secara bebas benar-benar dapat memberi manfaat dan melahirkan keadilan untuk semua motif?
Apakah harga-harga di tiap transaksi daging-daging pengetahuan bernama buku, majalah, kliping dan lain-lain ini adalah harga yang pantas?
Berapa banyak pedagang toko buku bekas yang terbantu di masa krisis seperti ini?
Jika iya, apakah memang pola ini sama-sama menguntungkan bagi semua?
Pertanyaan-pertanyaan ini saya rasa akan bergulir terus menerus seiring saya menjalankan praktik ini. Mungkin nanti jawabannya akan muncul di saat yang paling tepat. Intinya di sini saya mau mengapresiasi semua pejuang arsip otonom yang bergerak senyap seperti bayang-bayang (baca lebih lanjut soal pengarsipan otonom di “Autonomous Archiving” oleh Artikisler Collective). Menebarkan manfaat bagi sesama dengan relasi kuasa yang luar biasa leluasa.